"الله جميل يحبّ الجمال"

Allah Itu Indah, Mencintai Keindahan

Senin, 08 Juni 2009

SYAIR

SYAIR

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tarikhul Adab Yang Diampu Oleh Ibu Iswah Adriana, M.Pd.

Jurusan Bahasa Arab

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

(STAIN)

PAMEKASAN

BAB I

PENDAHULUAN

Sastra kreatif, salah satu bagian sastra mencoba untuk mengilustrasikan fenomina alam dengan menggunakan perasaan penulis atau diluar perasaan penulis. Sastra jenis ini terdiri dari dua macam , syair dan prosa. Kedua bagian ini pun memiliki karakteristik yang berbeda dengan nilai estetika yang berbeda pula.

Syair mempunyai perbedaan ekstra dibanding prosa, susunan kata katanya lebih indah kaena terikat dengan irama dan sajak. Berbeda dengan prosa, ia hanya terdiri dari kata-kata dan terlepas dari irama dan sajak. Dari keindahan ekstra pada syair inilah para pujangga arab memikat para raja penguasa hingga mabuk kepayang dengan sanjungan-sanjungan mengagumkan.

Pada masa keemasannya, syair dapat merubah pradigma hidup masyarakat lebih dinamis dan terarah. Seperti pada Rasul bersama pada sahabatnya yang dikenal dengan periode islam. Syair ketika itu sering kali dijadikan sebagai cambuk inspiratif untuk menggugah ruhul jihad para tentara perang hingga dapat menuai kemenangan.

Begitu luar biasanya syair, maka sangat perlu kita memahami ritme syair. Dari itu, dalam makalah ini akan kami uraikan tentang syair, karakteristik, berikut jenis-jenisnya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syair

Syair, seringkali kita mendengar istilah tersebut dalam buku-buku sejarah kebudayaan bangsa arab terutama pra islam. Istilah tersebut secara etimologis diambil dari asal kata شعورا شعرا يشعر شعر yang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengomposisi atau mengubah sebuah syair. Sedangkan menurut Jurji Zaidah, syair berarti nyanyian (Al-Ghina), lantunan (Insyadz), atau melagukan (Tartil). Asal kata ini telah hilang dari bahasa arab, namun masih ada dalam bahasa lain seperti syuur dalam bahasa ibrani yang berarti suara, nyanyian, melantunkan lagu. Diantara sumber kata syair adalah شير (syir) yang berarti kasidah atau nyanyian-nyanyian yang terdapat dalam kitab taurat juga menggunakan nama ini.[1]

Al-Aqqad, ia memandang kata Syir harus dikembalikan pada makna aslinya, yaitu bahasa smith. Kata شيرو pada suku Aqqadi kuno merujuk pada suara nyanyian gereja. Dari kata ini, kemudian pindah ke dalam bahasa ibrani (شير) dengan arti melagukan (Insyadz) dan ke dalam bahasa aramiyah yang bersinonim dengan شور , ترنم (menyanyikan) dan ترتيل (melagukan).

Namun, sejarah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi lebih dulu berkelud dalam dunia Nadzam dari pada orang Hijaz. Dengan demikian menunjukkan bahwa pengalaman dan kemahiran mereka telah memperkuat keberadaan Syir yang berkaitan dengan kasidah dan nyanyian. Berdasarkan sumber itu, orang-orang arab dipandang kuat telah mengambil شير dengan huruf ain, jadilah kata Sy’ir (شعر). Kata inilah kemudian digunakan pada kata syair secara universal.

Bagi orang arab, kata sy’ir mempunyai arti tersendiri sesuai dengan pengetahuan, kemampuan, dan kebiasaan mereka. Dalam pandangan mereka, sy’ir berarti pengetahuan, kemampuan dan kebiasaan mereka. Karena sy’ir mempunyai arti kepandaian dan pengetahuan, maka palakunya dikenal dengan Al-Fathin (cerdik pandai). Pendapat ini ada kemiripan dengan pengertian Poet dalam bahasa yunani, yang artinya membuat atau mencipta. Poet berarti pencipta melalui imajinasinya, atau orang yang berpengliatan tajam, orang suci, sekaligus filosofis, negarawan, guru, dan menebak kebenaran yang metafisik.[2]

Secara terminologi, dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa syair adalah ucapan yang atau susunan kata yang fasih yang terikat dengan Rima (pengulangan bunyi) dan Matra (unsur irama yang berpola tetap) dan biasanya mengungkapkan imajinasi yang indah dan berkesan memikat. Dalam bahasa melayu/indonesia, satu koplet syair biasanya terdiri dari empat baris yang berahiran sama – a,a,a,a.[3]

Sementara Ibnu Rasyiq lebih mempertegas adanya unsur kesengajaan, sebagaimana ia berkata : sesungguhnya syi’r terdiri dari empat hal, yaitu lafadz, wazan, makna dan qafiah. Ini batasan syi’r, karena ada sebuah ungkapan yang berirama dan berqafiah tetapi tidak dapat dikatakan syi’r. karena tidak dibuat-buat dan tidak dimaksud syi’r seperti Al-Qur’an dan Hadits nabi.

B. Karakteristik Syair

Dari pengertian yang terurai tentang syair diatas, dapat disimpulkan bahwa sebuah ungkapan dapat dikategorikan syair jika memenuhi enam kreteria, antara lain :[4]

  1. Kalam (bahasa), tidak bisa ditampik, bahasa merupakan instrumen media terutama pada sebuah karya sastra. Jelas berbeda khas bahasa sebagai media sastra dengan bahasa yang kita gunakan sebagai instrument komunikasi. Bahasa sastra mempunyai khas tersendiri yang menjadi kekuatan dari karya sastra tersebut. Biasanya bahasanya bersifat konotatif, abstrak (tersirat), imajinatif, dan inkonvensional yang secara lahir sering kali membingungkan.

Menurut Zainuddin, secara general konvensi sastra dapat dilihat dari :

· Bahasa yang digunakan bersifat estetis, puitis dan menyentuh rasa dengan keindahannya.

· Karya sastra bersifat imajinatif / fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat dari khayalan kreatif. Ia bersifat intuitif yang menonjolkan faktor perasaan.

· Bahasa sastra bersifat konotatif dan multi interpretable.

· Bahasa sastra bersifat simbolis, asosiatif, sugestif, dan konotatif. Yang mengungkapkan sesuatu dengan kiasan. Ini menuntut pembaca untuk berfikir kreatif.

· Bahasa sastra bersifat sublim dan etis. Yakni berangkat dari fenomina hidup sehari dan siap dipertanggung jawabkan secar moril. Dalam sastra dikenal dengan istilah distansi estetik, yaitu keindahan sebagai perentan jarak antara ungkapan keseharian dan literat.

· Karya sastra tertentu merupakan kata isis yaitu berupaya untuk mengajak pada perbuatan baik dengan cara-cara yang halus.

  1. Makna, artinya gagasan atau ide. Gagasan atau ide ini merupakan unsur batin (dalam) syair. Pada kritikus menamakannya fakta atau الحقيقه juga ada yang menyebut dengan الصواب dikatakan fakta, karena syair mengandung peristiwa atau kejadian yang benar-benar ada dan harus diterima sebagai kenyataan, karena itu benar-benar dijumpai dalam kehidupan nyata. Fakta juga mempunyai keterkaitan dengan pikiran yang kemudian si penyair mengemasnya dalam bentuk gubahan syair.
  2. Wazan, berarti keseimbangan, yang dimaksud wazan adalah pengulangan bunyi yang sama pada setiap akhir baik dari bai-baik. Dalam kajian sastra, ia lebih dikenal dengan pola irama atau musikelitas.

Syair dalam sastra arab terdiri dari bait-bait. Setiap baik syair terdiri dari dua bagian dengan wazan yang sama. Wazan-wazan ini dalam ilmu sastra arab dikenal dengan istilah “bahr” yang berjumlah 16, diantaranya ada bahr basit, sari’, ramal, dan sebagainya.

  1. Qafiah, adalah kata akhir dari sebuah kata syair. Sementara Kholil bin Ahmad berpendapat bahwa Qafiah adalah dua sukun yang berbeda pada akhir bait syair termasuk huruf-huruf hidup (berharkat) dan termasuk pula huruf hidup sebelum sukun pertama. Dalam Qafiah ada yang disebut dengan Rowi, yaitu huruf akhir yang terbaca dalam bait syair. Hal ini kemudian dijadikan dasar untuk menyebut jenis kasidah, seperti kamiyat san sirriyat karena rowinya berupa huruf lam dan sin.
  2. Khayal, adalah imajinasi (daya bayang, daya fantasi, tetapi bukan lamunan). Ia tetap berpangkal pada kenyataan-kenyataan dan pengalaman-pengalaman. Ia bersifat intuitif yang mengutamakan faktor rasa walaupun bersifat imajinatif, ia tidak harus rasional, boleh jadi realitas dari kehidupan sang pengarang.
  3. Qasdan adalah ungkapan atau kata-kata yang dapat dikatakan syair apabila disengaja dijadikan syair, tidak secara kebetulan. Ayat-ayat kuni bersifat kebetulan sesuai dengan kaidah syiir maka ia tidak disebtu dengan syair.

C. Macam-macam Syair

Thaha Husein dan Ahmad Al-Syayib, kritikus sastra arab membagi syair dari segi isinya menjadi 3 macam, antara lain.[5]

  1. Syair cerita, sejenis novel yang bersifat objektif. Ia merupakan qasidah panjang yang menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah, kemudian disusun dalam bentuk cerita kepahlawanan untuk dinyanyikan, seperti Mahabrata, kisah india yang terdiri dari 100 ribu bait.
  2. Syair lirik, syair yang secara langsung mengungkapkan perasaan, baik perasaan sedih maupun harapan. Ia merupakan qasidah yang cukup panjang dan bersifat subjektif, sehingga lebih tepat untuk menggambarkan kepribadian seseorang. syair jenis ini paling masyhur dikalangan arab yang berfungsi untuk memuji, meratap dan lain sebagainya.
  3. Syair derama, syair yang dibuat untuk disaksikan diatas panggung dan bersifat objektif. Jumlah baitnya biasanya tidak terlalu panjang karena terbatas waktu dan tempat.

Pada masa modern, sari segi lahirnya syair dibagi menjadi 3, yaitu :[6]

  1. Syair multazam, syair yang tidak terikat dengan wazan dan qafiah. Dalam bentuk ini seorang penyair ketika mengubah syairnya dengan mengubah satu baharnya yang ada dalam ilmu ‘arodh, demikian pula qafiahnya yang diperhatikan untuk memperoleh keindahank. Ini disebut syair tradisional.
  2. Syair mursal, syair yang terikat satuan irama, tapi tak terikat dengan aturan wazan atau qafiah.
  3. syiir hurr, syair yang tidak terikat sama sekali dengan aturan wazan, qafiah maupun tafilat, tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi karateristiknya yang bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan imajinasinya sehingga iramanya bersifat simbolik.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian tentang syair dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan antara lain.

  1. Syair, proses penamaannya mengalami metamorfosis dari makna atau pun bentuk kata hingga kemudian menjadi seperti yang kita kenal sekarang.
  2. Sebuah ungkapan kata-kata dapat dikategorikan sebagai syair jika dapat memnuhi beberapa keriteria, yaitu : Kalam, Makna, Wazan, Qafiah, Khayal dan Qasd.
  3. Dari segi sisi syair dibagi tiga, (1) Syair Cerita, (2) syair lirik, dan (3) syair drama, sedangkan dilihat dari segi lahirnya ada yang disebut dengan syair multazam, mursal dan hurr.

DAFTAR PUSTAKA

l Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Van ho wo, 2001

l Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab; Pengantar Teori dan Terapan, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2006



[1] Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab; Pengantar Teori dan Terapan, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2006), Hlm., 41

[2] Ibid., Hlm., 42

[3] Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Van ho wo, 2001), Hlm., 348

[4] Muzakki, Kesusastraan Arab., hlm., 42

[5] Ibid., hlm., 44

[6] Ibid., hlm., 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon ... klo udah baca posting kami, jangan lupaaaaaaaaaaaa kasi komentar yaaa .... n saran konstruktif ....................


thanks yaa atas komentar kaliaaannnnnnnnnnnnnnn !!!!!