"الله جميل يحبّ الجمال"

Allah Itu Indah, Mencintai Keindahan

Rabu, 17 Juni 2009

HERMENEUTIKA MOHAMMAD SHAHRUR

MAKALAH

HERMENEUTIKA

MOHAMMAD SHAHRUR

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hermeneutika Yang Dibina

Oleh Bapak Edi Susanto, M.Phil I

JURUSAN TARBIYAH

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN)

PAMEKASAN

2008

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dan tidak lupa kami haturkan selaksa sholawat dan salam kepada sang baginda Nabi tercinta pembawa kedamaian bagi seluruh alam semesta sekaligus dipuja oleh jutaan insan yang bertakwa yakni Muhammad Ibn Abdillah.

Dan kami tidak lupa pula ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada teman-teman yang telah ikut serta berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat memberi konstribusi sebagai wahana dalam rangka memperluas wawasan saudara-saudara khususnya pribadi penulis.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pada akhir abad ke-20, yakni pada tahun 1990-an, dunia Arab-Islam dikejutkan oleh diterbitkannya buku Al-Kitâb wa al-Qur`ân Qirâ`ah Mu’âshirah karya Muhammad Syahrûr. Sejak diterbitkan, buku itu telah mengundang kontroversi dan penulisnya menuai berbagai tuduhan. Muhammad Syahrûr, penulis buku tersebut, adalah seorang doktor dalam bidang mekanika tanah yang mencoba memasuki wilayah hermeneutika Al-Kitab. Dengan keahliannya dalam bidang teknik dan dipadukan dengan teori-teori linguistik, Syahrûr berhasil memberikan makna-makna baru, sekaligus mengkritik, atas konsep-konsep keagamaan klasik. Melalui eksplorasi atas konsep nubuwwah dan risalah ia memberikan sistematika lain bagi al-Kitab serta menawarkan suatu cara mendamaikan yang sakral dengan yang propan.
Shahrur, satu dari sekian banyak intelektual Arab kontemporer, yang sedikit banyak mewarnai dialektika pemikiran Arab kontemporer. Khususnya melalui karyanya yang berjudul al-Kitâb wa al-Qur`an: Qirâ`ah Muâ’shirah, Shahrur berupaya menggugat monopoli pembacaan teks suci dan berupaya meruntuhkan metode yang ditawarkan ulama klasik yang cenderung unscientific.
Berangkat dari latar belakang inilah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh lagi pemikiran-pemikiran Muhammad Shahrur
 

B. Rumusan masalah

Untuk mempermudah pembahasan makalah ini.kami buat rumusan-rumusan masalah sebagai berikut:

a. Biografi Muhammad Shahrur

b. Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur

 
BAB II
PEMBAHASAN
 
 
A.     Biografi Muhammad Shahrur 
Kota Syria dengan ibukota Damaskus, tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam belantika pemikiran di dunia Islam, baik sosial, politik, budaya, dan intelektual. Kota yang sempat menjadi ibukota wilayah kekuasaan Bani Umayah ini, terbukti melahirkan banyak figur pemikir dari berbagai ragam disiplin ilmu pengetahuan, termasuk yang paling mutakhir adalah Muhammad Shahrur.
Muhammad Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir dilahirkan di Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938 M[1]. Ayahnya bernama Deyb bin Deyb Shahrur dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun[2]. Dalam kehidupan pribadinya, Shahrur dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Dari Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang sudah menikah adalah Tariq (beristrikan Rihab), Lays (beristrikan Olga), dan Rima (bersuamikan Luis). Sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mas’un dan dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan. Kasih sayang Shahrur terhadap keluarganya, paling tidak, diindikasikan dengan selalu melibatkan mereka dalam lembaran persembahan karya-karyanya.
Pendidikannnya diawali di sekolah dasar yakni Ibtida’iyah, I’dadiyah dan Tsanawiyah ditempuh di kota kelahiraanya pada lembaga pendidikan ‘Abdurrahman al-Kawakibi. Ijazah Tsanawiyahnya ia peroleh dari sekolah itu pada tahun 1957. Pada bulan Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari Teknik Sipil (Hadanah Madaniyah) di Moskow.
Pada tahun 1959 dan tahun 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik tersebut dan kembali ke Syiria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di Universitas Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan studi ke Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Shahrur berhak melakukan penelitian pad Imparsial College, London, Inggris. Karen pada tahun itu, terjadi konflik politik antara Syiria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris. Selanjutnya Universitas Damaskus mengirimkannya ke Irlandia untuk melanjutkan program Megister dan Doktoralnya di bidang teknik sipil konsentrasi Mekanika Pertanahan (Soil mechanich) dan teknik pembangunan ( Fondation Engineering) di Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia dapat pada tahun 1969 dan gelar Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali ke Damaskus, kota kelahirannya.
Setelah tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjadi dosen di fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan dasar bumi sejak tahun 1972 sampai sekarang. Dari hasil belajarnya dilur negeri, ia tidak hanya belajar teknik sipil, akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqih Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia menguasai dua macam bahasa selain bahasa Ibunya sendiri (bahasa Arab) yaitu bahasa Rusia dan bahasa Inggris.
Kemudian pada tahun 1995, Shahrur juga pernah di undang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko. Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak berarti ia sama sekali kosong mengenai wawasan keislaman. Sebab akhirnya ia tertarik untuk mengkaji al-Qur’an dan Hadits secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis dan artikel tentang pemikiran keislaman[3]. Konsen Shahrur terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya dimulai sejak ia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil program Magister dan Doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya DR. Ja’far Dik al-Bab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada tahun 1958 dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa[4].
Dalam masa mengenyam studi di Moskow, antara tahun 1957-1964, Shahrur mulai merasakan “benturan peradaban” anatara latar belakang ideologisnya sebagai seorang muslim dan fenomena social-intelektual di Moskow yang komunis. Di negara inilah, Shahrur mulailah berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran marxisme. Sungguhpun ia tidak mengklaim sebagai penganut aliran tersebut[5]. Namun demikian ia mengakui banyak berhutang budi pada sosok Hegel –terutama dialektikanya- dan Alfred North White Head
Sebuah proses yang wajar yang dialami seseorang ketika mengalami perbenturan cultural sebagaimana dialami oleh Shahrur adalah munculnya berbagai pandangan baru yang cenderung berbeda dan kontradiktif. Hal ini kemudian melahirkan berbagai pertanyaan yang berusaha mendobrak kemapanan prespektif dan keyakinan, baik terkait dengan moralitas maupun doktrin teologis. Kegelisahan ini juga dialami oleh Shahrur.
Kegelisahan ini belanjut hingga ia menempuh program magister dan doktoralnya di Universitas Dublin Irlandia. Berdasarkan pengakuannya, sejak tahun 1970, Shahrur mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini sudah dianggap baku dalam doktrin teologi Islam. Ia mulai tertarik untuk mengkaji tema-tema terkait dengan al-Qur’an, antara lain konsep al-Zikr, ar-Risalah dan an-Nubuwah. Sepuluh tahun berlalu, Shahrur masih bergelut dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab secara memuaskan. Shahrur merasakan bahwa kajiannya sejak tahun 1970-1980 tersebut tidak membuahkan hasil.
Pada tahun 1980 Shahrur bertemu dengan Ja’far Dikki al-Bab seorang Doktor ilmu bahasa lulusan Unversitas Moskow tahun 1973 sekaligus teman sejawatnya sebagai tenaga pengajar di Universitas Damaskus. Pertemuan yang dilanjutkan dengan rangkaian diskusi serius dan intensif hingga tahun 1986 ini, merupakan “fase pencerahan” dalam diri Shahrur yang secara konsekuen membentuk pola pikir Shahrur dan kecendrungannya untuk mendalami filsafat bahasa dan humanisme. Fase tersebut menunjukkan pengaruh besar yang diperoleh Shahrur dari pemikiran Ja’far tentang rahasia bahasa Arab.
 
B.     Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur
Mengetahui dasar pemikiran seorang tokoh merupakan hal yang mutlak untuk diketahui sebelum kita masuk untuk mengetahui pemikirannya. Karena dasar pemikiran merupakan pijakan yang dijadikan titik tolak yang sudah barang tentu sangat mempengaruhi seluruh kontruksi dan bangunan pemikiran seseorang. Shahrur dalam pola pemikirannya bertolak dari pada Landasan Metodologis. Dalam melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an, Shahrur menjadikan linguistik sebagai dasar pandangan dalam membaca al-Qur’an (majhad lughawi), karena ia disamping sebagai eksak (teknik sipil), ia juga seorang ahli filsafat bahasa[6].
Memang pada dasarnya secara akademis Shahrur tidak memahami dan mendalai bahasa Arab, akan tetapi pengetahuannya tentang bahasa Arab tidak bias diremehkan, terutama sejak pertemuannya dengan temannya yaitu Ja’far Dikki al-Bab. Shahrur dalam menyampaikan pemikirannya dalam al-Kitab al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah menggunakan suatu metode kebahasaan yang terilhami oleh ilmu linguistik modern. Metode tersebut dinamakan dengan al-manhaj at-tarikh al-ilmi (metode histories ilmiah)[7]. Akan tetapi Shahrur sendiri tidak membahas secara detail tentang manhaj yang dipergunakannya. Dan Ja’far Dikki al-Bab merupakan orang yang paling berperan dalam pemahaman metode yang dibawakan Shahrur.
Metode Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan sebuah metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani. Kristalisasi dari kedua tokoh tersebut meyatu menjadi teori Farisian yang dikembangkan oleh Abu al-Farisi[8]. Sintesa tersebut secara garis besar memberikan ketentuan-ketentuan bahwa bahasa adalah suatu tatanan, bahasa merupakan bentuk realitas social, dan struktur bahasa selalu berkaitan dengan fungsi iblaqh (fungsi penyampai), serta adanya korelasi antara bahasa dan pemikiran.
Dari Abu al-Farisi, Shahrur menganut prinsip sebagai berikut :
1.      Bahwa bahasa merupakan sebuah system (anna al-lughah nizam)
2.      Bahasa merupakan fenomena sosiologis dan kontruksi bahasanya sangat terkait dengan konteks dimana bahasa itu disampaikan.
3.      Ada keterkaitan (at-talazum) antara bahasa dan pemikiran[9].
Metode linguistik Shahrur secara utuh sebagai bahan pembacaan terhadap al-Qur’an secara keseluruhan memberikan aturan-aturan sebagai berikut: Bahasa sebagai medium komunikasi antara manusia sehingga menimbulkan adanya keterkaitan antara dan ucapan dan pikiran manusia. Maksudnya manusia sejak awal telah berbicara yaitu melalui suara untuk mengkomunikasikan tujuan-tujuan (pikirannya) kepada orang lain. Sementara proses pemikiran manusia tidaklah terbentuk sekali waktu, akan tetapi terbentuk secara bertahap dari ilmu pengetahuan inderawi kemudian meningkat menjadi pengatahuan abstrak.
Begitu pula tatanan bahasa, ia tidak langsung terbentuk secara sempurna tetapi melalui proses benturan dengan peradaban yang sejalan dan sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia. Dengan menggunakan metode linguistiknya, Shahrur kemudian membangun teori batas (teori hudud), yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dualitas yakni al-hanif dan al-istiqamah.
Shahrur, satu dari sekian banyak intelektual Arab kontemporer, yang sedikit banyak mewarnai dialektika pemikiran Arab kontemporer. Khususnya melalui karyanya yang berjudul al-Kitâb wa al-Qur`an: Qirâ`ah Muâ’shirah, Shahrur berupaya menggugat monopoli pembacaan teks suci dan berupaya meruntuhkan metode yang ditawarkan ulama klasik yang cenderung unscientific. Gugatan tersebut tidak serta-merta diarahkan pada ulama klasik 

yang karyanya menempati posisi yang berharga di masanya, melainkan kepada generasi selanjutnya yang memposisikan turaœ pada wilayah yang tak dapat didebat (ghairu qâbil lin-niqâs). Konsekuensinya, mereka sulit melepaskan diri dari jeratan masa lalunya dan mereka menduga bahwa produk pemikiran pendahulunya melampaui ruang dan waktu (shalih li kulli zamânin wa makânin). 
Dalam konteks ini, Shahrur memetakan dua model aliran yang berkembang dalam masyarakat Arab saat ini. Pertama, skripturalis-literalis. Kelompok ini secara ketat dan kaku berpegang pada warisan masa lalunya. Khazanah yang telah mereka warisi dari pendahulunya diduga menyimpan kebenaran absolut. Oleh karenanya, menghadirkan masa lalu untuk menyelesaikan problem saat ini merupakan hal yang diidamkan.
Kedua, kelompok yang menyerukan sekularisme dan modernitas. Kelompok ini secara a priori menolak warisan Islam. Pemimpin kelompok ini adalah kaum marxis, komunis, dan beberapa kelompok pengagum nasionalisme Arab. Dalam kenyataannya, kelompok ini gagal memenuhi janjinya untuk menyediakan modernitas bagi masyarakatnya, mengingat kata Shahrur, persoalan Arab saat ini bukanlah sekularisme (atau modernitas) melainkan demokrasi. Dengan demokrasi diandaikan tercipta ruang publik (public sphere) yang bebas bagi munculnya bursa gagasan dan dengan demikian bisa menghargai pluralitas.
Melengkapi dua taksonomi tersebut, Shahrur menambah satu model yang mencoba menengahi dua kecenderungan di atas, yaitu kembali ke teks (return to texts), sembari memposisikan dirinya sebagai pengusung kelompok ini. Apa yang dimaksud dengan kembali ke teks menurut Shahrur adalah upaya membaca kitab suci dengan perangkat epistemologi yang diturunkan dari teks suci. Tentu saja, “kembali kepada teks” menurut Shahrur akan berbeda dengan apa yang dipahami kelompok islamisis, atau dalam istilah Kurzman, revivalist Islam yang selalu menggunakan slogan “kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah”. Karena alasan ini, Kurzman memasukkan Shahrur dalam kategori Liberal Islam, sebuah kategari pemikiran yang berlaku kritis baik terhadap customary Islam maupun revivalist Islam.[10]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Muhammad Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir dilahirkan di Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938 M. Ayahnya bernama Deyb bin Deyb Shahrur dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun. Dalam kehidupan pribadinya, Shahrur dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Dari Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang sudah menikah adalah Tariq (beristrikan Rihab), Lays (beristrikan Olga), dan Rima (bersuamikan Luis). Sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mas’un dan dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan. 
Shahrur adalah seorang doktor dalam bidang mekanika tanah yang mencoba memasuki wilayah hermeneutika Al-Kitab. Dengan keahliannya dalam bidang teknik dan dipadukan dengan teori-teori linguistik, Syahrûr berhasil memberikan makna-makna baru, sekaligus mengkritik, atas konsep-konsep keagamaan klasik. Melalui eksplorasi atas konsep nubuwwah dan risalah ia memberikan sistematika lain bagi al-Kitab serta menawarkan suatu cara mendamaikan yang sakral dengan yang propan.

B. Saran

Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, Oleh karena itulah saran serta kritik yang bersifat membangun dari saudara selalu kami nantikan.untuk dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah sihingga kami terus termotivasi kearah yang lebih baik tentunya dimasa masa yang akan datang.akhirnya kami ucapkan terima kasih sebanyak banyaknya.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Ahmad Syarqawi Ismail, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003.

2. Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam Shohiron Syamsuddin,dkk, (ed), Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003

3.      Http://Islamlib.Com/Id/Index.Php?Page=Article&Id=315

4. Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa Al-Quran; Qiraah Muasirah. Damaskus: al-Ahali li al-Tibaah wa al-Nasyr, 1999

5.      Muhammad Shahrur, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan Dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer Tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum Jakarta: Paramadina, 2001

6. Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer, terj. Sohiron Syamsuddin, dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004



[1] Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa Al-Quran; Qiraah Muasirah. (Damaskus: al-Ahali li al-Tibaah wa al-Nasyr, 1999), hal. 823

[2] Ahmad Syarqawi Ismail, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hal.43.

[3] Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam Shohiron Syamsuddin,dkk, (ed), Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hal. 124.

[4] Ibid. hal. 129.

[5] Muhammad Shahrur, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan Dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer Tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 210.

[6] Abdul Mustaqim, Op Cit. hal. 129

[7] Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQuran; Qiraah Muasirah. (Damaskus: al-Ahali li al-Tibaah wa al-Nasyr, 1999), hal 741.

[8] Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer, terj. Sohiron Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. 26.

[9] Abdul Mustaqim, Op Cit hal. 126

1 komentar:

  1. Assalamualaikum, ana mw tanya dimana beli kitab alkitab wa alquran.qiraah muashirah yang arab. Ana mw penelitian tentang kitab itu

    BalasHapus

mohon ... klo udah baca posting kami, jangan lupaaaaaaaaaaaa kasi komentar yaaa .... n saran konstruktif ....................


thanks yaa atas komentar kaliaaannnnnnnnnnnnnnn !!!!!